Indonesia: Strategi Cerdas Mengatasi Harga Obat Inovatif yang Mahal
/data/photo/2025/02/27/67c0288173c45.jpg)
Harga obat inovatif yang terus melonjak menjadi tantangan global yang serius bagi sistem kesehatan modern. Kemajuan teknologi biomedis memang menawarkan terapi yang lebih efektif untuk penyakit yang dulunya sulit diobati.
Namun, ironisnya, biaya pengobatan menjadi semakin mahal dan tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat dunia. Di Indonesia, masalah ini tercermin dalam peningkatan klaim BPJS Kesehatan untuk penyakit katastropik seperti kanker, jantung, diabetes, dan gangguan ginjal kronis.
Paradoks Kesehatan: Antara Harapan Hidup dan Kesenjangan Akses
Kenaikan klaim BPJS ini bukan hanya indikasi keberhasilan deteksi dini atau peningkatan kualitas layanan kesehatan. Ini juga disebabkan oleh biaya unit terapi yang terus meningkat akibat inovasi farmasi yang mahal dan sistem pengadaan yang kurang efisien.
Masyarakat modern hidup dalam paradoks medis yang nyata. Harapan hidup meningkat berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, tetapi kesenjangan akses terhadap pengobatan juga semakin besar karena biaya yang tidak terjangkau.
Dilema Dokter dan Janji Jaminan Kesehatan
Dokter di rumah sakit besar seringkali menghadapi dilema etis dalam memilih terapi terbaik yang tersedia dengan batasan plafon BPJS. Ini bukan hanya masalah klinis, tetapi juga masalah politis dan ekonomis yang kompleks.
Ketika negara menjanjikan jaminan kesehatan universal, janji tersebut akan kehilangan makna jika obat-obatan yang terbukti efektif secara ilmiah tidak dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan.
Logika Industri Farmasi dan Keadilan Distributif
Industri farmasi global beroperasi dengan logika ekonomi yang menganggap inovasi sebagai komoditas premium. Investasi riset dan pengembangan (R&D) yang sangat besar menjadi alasan bagi produsen untuk mempertahankan harga tinggi guna menutup biaya dan mendanai riset selanjutnya.
Namun, dari sudut pandang publik, pendekatan ini menciptakan eksklusi bagi kelompok rentan. Negara perlu mengambil posisi negosiasi yang cerdas, tidak hanya sebagai pembeli, tetapi juga sebagai pengatur tata kelola ekonomi obat yang berkeadilan.
Teori Keadilan Distributif dalam Ekonomi Kesehatan
Teori keadilan distributif dalam ekonomi kesehatan menjadi relevan dalam konteks ini. Sumber daya publik yang terbatas harus dialokasikan untuk mencapai manfaat kesehatan yang maksimal bagi seluruh populasi.
Prinsip *cost-effectiveness* menjadi acuan moral dalam kebijakan publik di sektor kesehatan, di mana setiap rupiah yang dikeluarkan negara harus memberikan manfaat kesehatan yang paling besar. Namun, prinsip ini seringkali bertentangan dengan logika pasar yang didorong oleh paten dan lisensi eksklusif.
Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Monopoli atas molekul baru membuat negara sulit untuk melakukan negosiasi yang efektif. Pengadaan terapi Hepatitis C di beberapa negara memberikan contoh yang menarik.
Amerika Serikat, melalui negara bagian Louisiana, memperkenalkan model langganan atau "Netflix model". Pemerintah membayar biaya tetap tahunan kepada perusahaan farmasi, sehingga ribuan pasien dapat menerima pengobatan tanpa adanya lonjakan biaya tahunan. Model ini memberikan stabilitas fiskal dan kepastian bagi pasien, namun memerlukan dana awal yang besar dan sistem data yang solid.
Baca Juga: Biaya Aspirasi Jarum Halus: Rincian Lengkap di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhi
Alternatif: Regulasi Ketat dan Produksi Generik
Negara-negara Asia seperti Thailand dan India memilih regulasi ketat dan produksi generik untuk mengendalikan harga obat. Mereka menggunakan lisensi wajib (compulsory licensing) untuk membebaskan paten dan memfasilitasi produksi lokal.
Strategi ini berhasil menurunkan harga obat secara signifikan, tetapi seringkali menunda akses terhadap obat baru karena harus menunggu masa paten berakhir atau perizinan generik diterbitkan. Dalam kasus penyakit yang berkembang cepat seperti kanker, waktu menjadi faktor krusial.
Health Technology Assessment (HTA): Penilaian Komprehensif
Jepang, Korea Selatan, dan China mengembangkan sistem Health Technology Assessment (HTA) sebagai solusi tengah. HTA menilai setiap obat baru tidak hanya berdasarkan khasiat klinis, tetapi juga nilai ekonomi dan sosialnya.
Keputusan mengenai penggantian biaya obat oleh asuransi publik didasarkan pada nilai tambah yang terbukti. Pendekatan ini menempatkan sains dan kebijakan dalam posisi yang saling mengoreksi, meskipun menimbulkan perdebatan etis tentang nilai kehidupan manusia yang diukur secara ekonomis.
Smart Procurement: Strategi Hibrida yang Proaktif dan Regulatif
Tidak ada pendekatan tunggal yang sempurna untuk mengatasi tantangan ini. Indonesia memerlukan strategi hibrida yang menggabungkan unsur proaktif dan regulatif.
Negara perlu memberikan insentif bagi industri untuk berinovasi melalui mekanisme pembelian di muka (subscription), sambil tetap mengendalikan pengeluaran publik melalui evaluasi berbasis bukti seperti HTA dan negosiasi harga yang transparan. Kombinasi ini menghasilkan konsep *smart procurement*.
Transformasi Tata Kelola Anggaran Kesehatan
*Smart procurement* bukan sekadar cara membeli obat, tetapi merupakan transformasi paradigma dalam tata kelola anggaran kesehatan. Pendekatan ini mengintegrasikan pembiayaan proaktif, penilaian berbasis bukti, dan negosiasi strategis.
Melalui pembiayaan proaktif, pemerintah tidak lagi hanya membeli obat berdasarkan volume permintaan tahunan, tetapi mengantisipasi kebutuhan masa depan dengan kontrak jangka panjang yang fleksibel. Risiko dibagi antara pemerintah dan industri melalui *risk-sharing agreement*.
Fondasi yang Ada dan Tantangan yang Menghadang
Indonesia sebenarnya memiliki fondasi yang cukup kuat untuk menerapkan *smart procurement*. Sistem e-katalog nasional meningkatkan transparansi harga, dan BPJS Kesehatan menyediakan basis data populasi yang luas untuk analisis kebutuhan.
Namun, tantangan besar masih ada, termasuk kapasitas kelembagaan yang terbatas dalam melakukan penilaian HTA dan koordinasi antarinstansi yang seringkali parsial. Integrasi lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, BPJS, LKPP, dan lembaga riset sangat penting.
Menjadi Pembeli Strategis, Bukan Pembeli Pasif
Kebijakan pengadaan yang dikelola secara administratif tanpa basis data dan analisis nilai membuat negara berisiko menjadi pembeli pasif di pasar global. Dalam kondisi ini, industri akan selalu lebih unggul karena memiliki informasi dan kemampuan lobi yang lebih kuat.
Dengan *smart procurement*, Indonesia diharapkan menjadi pembeli strategis yang menegosiasikan nilai, hasil klinis, dan distribusi risiko, bukan hanya menawar harga. Ini membutuhkan reformasi mendalam dalam budaya birokrasi yang selama ini lebih fokus pada kepatuhan formalitas daripada efektivitas dan efisiensi.
Pertanyaan Umum (FAQ)
Apa itu Smart Procurement dalam konteks pengadaan obat?
Smart Procurement adalah pendekatan strategis dalam pengadaan obat yang mengintegrasikan pembiayaan proaktif, penilaian berbasis bukti (seperti Health Technology Assessment - HTA), dan negosiasi yang cerdas. Tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai terbaik dari investasi kesehatan dengan mempertimbangkan efektivitas klinis, biaya, dan dampak sosial.
Apa yang dimaksud dengan Health Technology Assessment (HTA)?
Health Technology Assessment (HTA) adalah proses penilaian sistematis terhadap sifat, efek, dan implikasi dari teknologi kesehatan. Ini mencakup evaluasi khasiat klinis, efektivitas, keamanan, biaya, serta aspek sosial, etika, dan hukum dari teknologi tersebut. Hasil HTA digunakan untuk membantu pengambilan keputusan terkait kebijakan kesehatan.
Apa itu Risk-Sharing Agreement dalam pengadaan obat?
Risk-Sharing Agreement adalah perjanjian antara pemerintah atau pembeli obat dengan perusahaan farmasi yang membagi risiko terkait dengan kinerja obat. Misalnya, jika obat tidak mencapai hasil klinis yang diharapkan atau jumlah pasien yang menggunakan obat lebih sedikit dari perkiraan, maka harga dapat disesuaikan atau pembayaran dapat dikurangi.
Mengapa harga obat inovatif menjadi masalah di Indonesia?
Harga obat inovatif yang mahal menjadi masalah karena membatasi akses masyarakat terhadap pengobatan yang efektif dan membebani anggaran kesehatan negara. Hal ini menciptakan dilema etis bagi dokter dan dapat mengancam keberlanjutan program jaminan kesehatan universal.
Apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengatasi masalah harga obat mahal?
Indonesia dapat mengadopsi strategi hibrida yang menggabungkan beberapa pendekatan, seperti: (1) Menerapkan Smart Procurement; (2) Meningkatkan kapasitas untuk melakukan HTA; (3) Meningkatkan koordinasi antarinstansi terkait pengadaan obat; (4) Menjelajahi mekanisme seperti lisensi wajib untuk obat-obatan tertentu; dan (5) Mempromosikan produksi obat generik lokal.
Ikuti dan Dukung Infolabmed.com
Mari terhubung melalui media sosial dan dukung perkembangan website Infolabmed.com
Dukungan untuk Infolabmed.com
Beri Donasi untuk Perkembangan Website
Dukung Infolabmed.com dengan memberikan donasi terbaikmu melalui DANA. Setiap kontribusi sangat berarti untuk pengembangan dan pemeliharaan website.
Donasi via DANAProduk Infolabmed
Nama Produk: PORLAK BGM-102 - Alat Cek Gula Darah Digital Akurat, Hasil 5 Detik, Bonus Lancet & Baterai
Harga: Rp 270.000
© 2025 Infolabmed.com | Terima kasih atas dukungannya
Post a Comment