Mengenali Gejala dan Cara Pencegahan dari Penyakit Demam Berdarah Dengue
PENDAHULUAN
DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes betina, terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit ini muncul sepanjang tahun, dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan kondisi lingkungan, dan menjadi masalah kesehatan global, dengan 40% populasi dunia berisiko terinfeksi (WHO, 2021).
Di Indonesia, kasus DBD terus meningkat. Pada 2017, terdapat 68.407 kasus dengan 493 kematian, sementara pada 2020, Bali mencatat 12.173 kasus, naik dari 5.956 kasus pada 2019. Di Karangasem, kasus DBD melonjak dari 160 pada 2019 menjadi 919 pada 2020, dengan Desa Tegallinggah menyumbang 84 kasus, didominasi oleh anak usia sekolah (62%).
Departemen Kesehatan RI menggalakkan program 3M Plus, yaitu menguras, menutup, memanfaatkan kembali, serta langkah tambahan seperti penggunaan larvasida dan obat antinyamuk. Peran ibu sangat penting dalam pencegahan DBD karena berpengaruh pada kesehatan keluarga dan tindakan perawatan saat anak terkena DBD. Pengetahuan ibu menjadi kunci dalam mendorong perilaku pencegahan yang berkelanjutan.
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE : GEJALA DAN CARA PENCEGAHAN
Fase DBD terdiri dari tiga tahap: febris, kritis, dan pemulihan. Fase febris ditandai dengan demam tinggi, nyeri otot, dan pendarahan ringan seperti petekie. Pada fase kritis, risiko kebocoran plasma meningkat, ditandai dengan penurunan suhu tubuh, leukopenia, dan perubahan tekanan darah. Pemulihan terjadi setelah fase kritis, saat kondisi pasien membaik. Deteksi dini dan penanganan tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi serius seperti syok dan kebocoran plasma.
Faktor risiko DBD meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan kebiasaan hidup. Anak-anak di bawah usia 15 tahun lebih rentan terkena DBD karena aktivitas luar rumah yang tinggi dan antibodi yang belum sempurna. Jenis kelamin juga memengaruhi risiko, di mana laki-laki lebih berpotensi tertular akibat respon imun yang lebih rendah dibanding perempuan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan dan perilaku pencegahan; semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pemahaman dan tindakan pencegahannya.
Selain itu, perilaku hidup bersih seperti penerapan 3M (menguras, menutup, dan memanfaatkan kembali barang bekas) sangat penting untuk mencegah berkembangnya nyamuk. Kebiasaan menggantung pakaian di tempat gelap juga meningkatkan risiko karena menjadi tempat istirahat nyamuk Aedes aegypti. Faktor lingkungan seperti keberadaan genangan air di sekitar rumah turut menjadi penyebab utama. Oleh karena itu, perilaku masyarakat yang mendukung kebersihan lingkungan sangat diperlukan untuk menekan penyebaran DBD.
PENUTUP
Sebagai langkah pencegahan terhadap DBD, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan disiplin dalam menjaga kebersihan lingkungan. Salah satu upaya efektif adalah menerapkan program 3M Plus, yaitu menguras tempat penampungan air, menutup wadah air secara rapat, dan memanfaatkan kembali barang bekas yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. "Plus" dalam program ini mencakup langkah tambahan seperti menggunakan obat antinyamuk, memasang kawat kasa, dan menaburkan larvasida pada air yang sulit dikuras. Selain itu, masyarakat juga perlu menghindari kebiasaan menggantung pakaian di tempat gelap karena dapat menjadi tempat istirahat nyamuk Aedes aegypti.
Partisipasi aktif seluruh keluarga, terutama peran ibu sebagai pengelola kesehatan rumah tangga, sangat penting dalam menjaga kesehatan keluarga. Edukasi mengenai DBD juga harus terus ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, baik di sekolah maupun lingkungan masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat. Dengan upaya bersama menjaga kebersihan lingkungan, menghilangkan tempat perkembangbiakan nyamuk, dan meningkatkan perilaku hidup sehat, diharapkan kasus DBD dapat ditekan secara signifikan dan kehidupan masyarakat menjadi lebih sehat dan aman.***
PENULIS
- Alifia Chusnul Khotimah
- Bintang Aulia Nur’aini
- Lutfi Kurniawati
- Nabiilah Nur Ainii Heriyanti
- Salsa Krisma Azzahra
DAFTAR PUSTAKA
- Alviana, Dian. (2019). Hubungan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (Dbd) dengan Transmisi Transovarial Virus Dengue Pada Aedes Aegypti di Wilayah Mojosongo, Surakarta. Thesis. Universitas Setia Budi.
- Anggraeni, P., Heridadi, & Widana, I. K. (2018). Faktor risiko (breeding places, resting places, perilaku kesehatan lingkungan, dan kebiasaan hidup) pada kejadian luar biasa demam berdarah dengue di Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Jurnal Manajemen Bencana, 4(1), 1–24.
- Ernyasih, Shalihat, M., Srisantyorini, T., Fauziah, M., & Andriyani. (2021). Studi literatur hubungan variasi iklim (curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) dengan kejadian demam berdarah dengue di Indonesia tahun 2007–2019. Environmental and Occupational Health Journal, 2(1), 35–48.
- Fadrina, S., Marsaulina, I., & Nurmaini. (2021). Hubungan menggantung pakaian dan memasang kawat kasa dengan kejadian demam berdarah dengue di Kabupaten Langkat. Jurnal Health Sains, 2(3), 402–409.
- Ismah, Z., Purnama, T. B., Wulandari, D. R., Sazkiah, E. R., & Ashar, Y. K. (2021). Faktor risiko demam berdarah di negara tropis. ASPIRATOR, 13(2), 147–158.
- Jihaan, S., Chairani, A., & Mashoedojo. (2017). Hubungan antara perilaku keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Pancoran Mas. Jurnal Profesi Medika, 11(1), 41–47.
- Kemenkes. (2014). Data pedoman pengumpulan dokumen. Jakarta: Balitbangkes.
- Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pencegahan DBD dengan 3M Plus.
- Kementerian Kesehatan RI. (2021). Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025.
- Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
- Rusadi, N., & Putra, G. S. (2020). Determinan perilaku pencegahan DBD di Kelurahan Kapuas Kanan Hulu Kabupaten Sintang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa, 7(4), 190–201.
- Widyorini, P., Wahyuningsih, N. E., & Murwani, R. (2016). Faktor keberadaan breeding place dengan kejadian demam berdarah dengue di Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(5), 94–99.
Post a Comment