Reaksi Transfusi Non Imun

(Image : https://alomedika.com)

 A. KONSEP DASAR

Reaksi transfusi non imun yang dimaksud di sini adalah reaksi yang tidak melibatkan sistem imun (reaksi Ag dan Ab) secara langsung. Reaksi transfusi non imun lebih banyak disebabkan oleh efek pemberian komponen darah yang berpengaruh terhadap metabolisme tubuh, seperti penumpukan zat besi (Fe) di dalam tubuh pasien, maupun efek karena penyimpanan komponen darah yang menghasilkan berbagai macam substan yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Berdasarkan waktu munculnya gejala klinis pada pasien, reaksi transfusi non imun dapat bersifat akut maupun tunda. Reaksi transfusi non imun yang bersifat akut termasuk kontaminasi bakteri, oversirkulasi darah dan reaksi fisik serta kimia terkait penyimpanan komponen darah.

B. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN AKUT

1. Sepsis karena kontaminasi bakteri di dalam kantong darah 

Sepsis merupakan reaksi tubuh terhadap infeksi yang cukup berat, jika tidak tertangani dengan baik, maka dapat terjadi kerusakan organ. Kontaminasi bakteri merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada pasien paska transfusi. Berdasarkan beberapa studi, diketahui bahwa resiko kontaminasi bakteri pada komponen darah lebih besar dibandingkan infeksi menular lewat transfusi darah seperti : HIV, hepatitis C (HCV), hepatitis B (HBV). Jenis komponen darah yang sering terkontaminasi bakteri adalah komponen trombosit. Kontaminasi umumnya berasal dari bakteri kontaminan yang berasal dari kulit lengan donor pada saat pengambilan darah. Proses antisepsis kulit donor yang kurang baik menyebabkan bakteri yang normal terdapat di kulit donor dapat ikut bersama dengan aliran darah ke dalam kantong darah. Proses pengolahan komponen darah juga rentan terhadap kontaminasi bakteri dalam kantong darah donor. 

2. Efek transfusi terhadap komponen darah simpan 

Komponen darah yang disimpan dalam jangka waktu tertentu, akan memberikan reaksi transfusi terhadap pasien. Faktor fisik sel darah maupun faktor kimia dari komponen darah dapat mempengaruhi kualitas komponen darah simpan. Faktor fisik diantaranya adalah : kerusakan sel darah terutama sel darah merah (hemolisis) pada proses pengolahan komponen darah dan penyimpanan. Faktor kimia terkait dengan unsur kimia yang teraktivasi pada proses pengolahan maupun komponen darah, sebagai contoh, kalium yang keluar dari dalam sel darah ke plasma selama proses penyimpanan darah. Selama penyimpanan komponen darah, perubahan - perubahan metabolik terjadi baik di dalam sel darah maupun di plasma. 

3. Efek transfusi dalam jumlah dan volume besar

Jika transfusi dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan parah dan harus ditransfusi dengan jumlah darah yang cukup banyak (6 unit kantong darah dewasa) dalam waktu kurang dari 24 jam, maka berbagai macam reaksi transfusi non imun dapat terjadi. Reaksi hipotermi dapat terjadi paska transfusi, yaitu pasien yang ditransfusi secara cepat dengan komponen darah yang disimpan pada suhu 4 ± 2°C. Kondisi ini dapat menurunkan suhu di dalam tubuh, yang dapat mempengaruhi hemostasis tubuh pasien. Kondisi hipotermia menurunkan metabolisme sitrat dan laktat serta meningkatkan derajat hipokalsemia, dan menurunkan tingkat pelepasan Hb ke jaringan. Efek samping lainnya berupa penurunan fungsi trombosit dan faktor koagulasi, sehingga akan lebih meningkatkan resiko perdarahan. Keracunan sitrat juga dapat terjadi ketika sejumlah besar volume komponen plasma yang mengandung antikoagulan sitrat ditransfusikan ke pasien. 

C. REAKSI TRANSFUSI NON IMUN TUNDA

Fe Akumulasi / penumpukan Fe merupakan reaksi transfusi pada pasien dengan terapi transfusi rutin, seperti : pasien thalasemia, sickle cell dan penyakit anemia kronis lainnya. Akumulasi Fe berasal dari molekul hemoglobin sel darah merah yang dihancurkan. Satu unit komponen PRC mengandung 250 mg Fe. Pada saat sejumlah sel darah merah ditransfusikan dan kemudian dihancurkan, maka tubuh tidak bisa mengeluarkan Fe dalam jumlah besar, sehingga Fe disimpan di dalam tubuh sebagai hemosiderin dan feritin. Akumulasi Fe pada RES, organ hati, jantung, limpa dan organ endokrin akan menimbulkan kerusakan organ lebih lanjut. Gejala klinis yang timbul pada pasien adalah kelemahan otot, kelelahan, penurunan berat badan, ikterus, anemia, denyut jantung yang tidak teratur.

D. PENCEGAHAN REAKSI TRANSFUSI NON IMUN

Reaksi transfusi non imun lebih banyak disebabkan karena menurunnya kualitas komponen darah yang ditransfusikan. Sebagai contoh, adanya peningkatan hemolisis (sel darah merah rusak dan lisis) selama penyimpanan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada komponen darah selama penyimpanan. Oleh karena itu perlu diperhatikan proses kontrol kualitas (quality control / QC) mulai dari seleksi donor, pengambilan darah donor, pembuatan komponen darah sampai dengan distribusi komponen darah ke pasien. Setiap langkah kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang dimiliki oleh unit transfusi darah yang melakukan kegiatan tersebut.

Pencegahan lainnya terhadap efek komponen darah simpan, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap lisis sel darah merah terkait lamanya masa simpan yang juga dapat merupakan petanda adanya kontaminasi bakteri. Pemeriksaan terhadap penurunan derajat keasaman (pH) komponen trombosit juga dapat merupakan indikator adanya kontaminasi bakteri. Masa simpan komponen darah juga berpengaruh terhadap kualitas komponen darah yang dihasilkan. Semakin lama masa simpan darah, maka kualitas komponen darah akan menurun.


Sumber : Nurhayati B, Noviar G, Kartabrata E dkk. 201. Penuntun Praktikum Imunohematologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Bandung. Bandung : Analis Kesehatan.

DONASI VIA DANA ke 085862486502 Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi Anda ini akan digunakan untuk memperpanjang domain www.infolabmed.com. Donasi klik Love atau dapat secara langsung via Dana melalui : 085862486502. Terima kasih.

Post a Comment

0 Comments