Kanker Payudara di Indonesia: Antara Fakta Memilukan dan Harapan Pemulihan
Kanker payudara telah menjadi momok bagi perempuan Indonesia, dengan angka kejadian dan kematian yang terus meningkat setiap tahunnya. Di balik statistik yang mengkhawatirkan, tersimpan berbagai persoalan yang kompleks, mulai dari keterlambatan diagnosis hingga akses layanan yang terbatas, yang menjadi tantangan besar dalam upaya penanggulangan penyakit ini.
Angka Kanker Payudara di Indonesia: Gambaran yang Mengkhawatirkan
Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menunjukkan bahwa setiap tahunnya terdapat 66.271 kasus baru kanker payudara di Indonesia. Lebih memilukan lagi, angka kematian akibat kanker payudara mencapai 22.598 jiwa per tahun, menjadikannya jenis kanker paling banyak dan paling mematikan bagi perempuan di Tanah Air. Angka ini jauh melampaui kanker leher rahim (serviks) dan kanker ovarium, yang juga menjadi ancaman serius bagi kesehatan perempuan.
Keterlambatan Diagnosis: Akar Masalah yang Kompleks
Salah satu akar masalah utama dalam penanggulangan kanker payudara di Indonesia adalah keterlambatan diagnosis. Kondisi ini diperparah oleh berbagai faktor, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini, keterbatasan fasilitas kesehatan, hingga tingginya biaya pengobatan. Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, mengungkapkan keprihatinannya saat ditemui dalam Forum Jurnalis Kesehatan pada 29 September 2025. Beliau menyoroti antrean panjang untuk pemeriksaan, yang dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Akibatnya, banyak pasien yang baru terdiagnosis pada stadium lanjut, yang menurunkan peluang kesembuhan.
Akses Layanan yang Timpang dan Perbandingan dengan Negara Lain
Selain keterlambatan diagnosis, akses layanan yang timpang juga menjadi masalah krusial. Keterbatasan alat dan tenaga medis di daerah-daerah terpencil memaksa pasien menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan penanganan. Ketua Perhimpunan Pusat Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), dr. Jaya Cosphiadi Irawan, menyoroti perbandingan yang mencolok dengan negara tetangga, Malaysia, yang memiliki angka kesintasan (survival rate) yang jauh lebih baik. Ia menekankan pentingnya investasi dalam deteksi dini dan pengobatan untuk mengurangi beban penyakit dan biaya yang harus ditanggung pasien.
Ketua Tim Kerja Kanker Kemenkes RI, Endang Lukito, mengakui bahwa kesiapan deteksi alat dan tenaga medis masih terbatas di banyak kabupaten/kota. Data menunjukkan bahwa hanya 169 kabupaten/kota yang memiliki layanan mamografi, sementara 201 kabupaten/kota memiliki sumber daya manusia (SDM) namun tidak memiliki alat. Bahkan, 44 kabupaten/kota sama sekali tidak memiliki SDM maupun alat yang memadai. Hal ini menyebabkan waktu tunggu pengobatan yang lama, rata-rata 9 hingga 15 bulan sejak diagnosis ditegakkan hingga terapi definitif dimulai. Dr. Cosphiadi menekankan bahwa keterlambatan sekecil apapun dapat memperburuk kondisi pasien, mengingat tumor dapat berkembang dengan cepat.
Angka Kesintasan yang Memprihatinkan dan Upaya Perbaikan
Angka kesintasan lima tahun (five-year survival rate) kanker payudara di Indonesia hanya berkisar antara 54,5 hingga 56 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara maju, yang rata-rata mencapai 90 persen. Bahkan, India, dengan populasi yang jauh lebih besar, memiliki angka kesintasan yang lebih baik, yaitu 66 persen. Sementara itu, Afrika Selatan mencatatkan angka yang lebih rendah, yaitu 40 persen. Kementerian Kesehatan sendiri menargetkan peningkatan angka kesintasan hingga di atas 70 persen. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan upaya yang komprehensif, termasuk perluasan deteksi dini dan percepatan tata laksana pengobatan.
Rencana Aksi Nasional dan Harapan di Masa Depan
Untuk mengatasi permasalahan kanker payudara, Kementerian Kesehatan telah merumuskan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan Kanker 2024-2027. Rencana ini mencakup berbagai langkah strategis, seperti penurunan angka kematian hingga 2,5 persen, peningkatan deteksi dini pada stadium awal (stadium 1-2) hingga 60 persen, dan memastikan diagnosis ditegakkan maksimal 60 hari sejak pasien pertama kali datang ke fasilitas kesehatan. Selain itu, setiap provinsi diharapkan memiliki minimal 2 rumah sakit paripurna dan setiap kabupaten/kota minimal 1 rumah sakit madya untuk layanan kanker. Metode skrining payudara juga terus ditingkatkan dengan menggabungkan SADANIS (pemeriksaan klinis) dan USG untuk deteksi yang lebih akurat.
Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Keberhasilan
Penanggulangan kanker payudara membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang kuat, termasuk pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat. Dr. Cosphiadi menekankan pentingnya governance yang kuat, peran akademisi dalam mengawal, serta partisipasi aktif masyarakat dalam edukasi dan deteksi dini. Selain itu, peningkatan layanan paliatif juga sangat penting, mengingat hanya 1 persen dari kebutuhan yang terpenuhi saat ini, padahal 80 persen pasien kanker stadium lanjut membutuhkannya. Investasi dalam deteksi dini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga investasi untuk menyelamatkan generasi masa depan, seperti yang ditegaskan oleh Dr. Cosphiadi.
Ikuti dan Dukung Infolabmed.com
Mari terhubung melalui media sosial dan dukung perkembangan website Infolabmed.com
Dukungan untuk Infolabmed.com
Beri Donasi untuk Perkembangan Website
Dukung Infolabmed.com dengan memberikan donasi terbaikmu melalui DANA. Setiap kontribusi sangat berarti untuk pengembangan dan pemeliharaan website.
Donasi via DANAProduk Infolabmed
Nama Produk: PORLAK BGM-102 - Alat Cek Gula Darah Digital Akurat, Hasil 5 Detik, Bonus Lancet & Baterai
Harga: Rp 270.000
© 2025 Infolabmed.com | Terima kasih atas dukungannya
Post a Comment